Kebutuhan Bahan Baku Industri Kayu di Indonesia

Kebutuhan Bahan Baku Industri Kayu di Indonesia

Dekade 1980-an memang masa kejayaanIndonesia. Berbagai sumber daya alam kita yang melimpah ruah mulai dieksploitasi dan memberikan kontribusi yang sangat besar bagi pendapatan negara. Akan tetapi, kekayaan sumber daya alam itu tidak bisa diharapkan tersedia setiap saat. 


Secara alamiah, ketersediaan bahan baku kayu dari hutan alam tidak akan pernah mampu mengimbangi kebutuhan produksi yang cenderung meningkat setiap tahun. Tahun 1995, Indonesiamasih berada di urutan kedua setelah Brasil dalam penguasaan hutan tropis, dengan luas hutan mencapai 100 juta hektar atau sekitar 10 persen dari hutan tropis yang tersisa di dunia. Namun, data Global Forest Resources Assessment 2005—yang diterbitkan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) 2006—menunjukkan, Indonesiamerosot ke urutan delapan dunia dengan luas hutan 88 juta hektar. 



Kita juga telah menjadi negara kedua yang kehilangan hutan terbanyak di dunia setelah Brasil, yakni 1,871 juta hektar per tahun. Sebagian besar kehilangan tersebut terjadi akibat penebangan liar, kebakaran hutan, atau alih fungsi menjadi perkebunan dan pertanian. 



Angka kerusakan hutan lebih tinggi lagi, sekitar 2,7 hektar per tahun. Tanpa kebijakan yang tegas, hutan kita terancam musnah dalam beberapa dekade lagi. 



Operasi hutan lestari pun digelar untuk menertibkan industri kayu yang mengonsumsi hasil penebangan liar sebagai bahan baku. Departemen Kehutanan (Dephut) telah menetapkan jatah produksi tebangan (JPT) tahun 2006 sebesar 8,125 juta meter kubik. 



Akan tetapi, kebijakan ini malah menimbulkan kelangkaan bahan baku bagi industri kayu. Ketua II Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia Nana Suparna meminta agar pemerintah turut memikirkan kesinambungan industri kayu berproduksi. 



"Kelebihan industri perkayuan kita selama ini adalah bahan baku, bukan teknologi atau sumber daya manusia. Tanpa perbaikan kebijakan bahan baku dalam 2-3 tahun ini, industri kayu nasional bisa tutup semua," kata Nana Suparna di Jakarta, Jumat (7/4). 



Bangkrut 


Akibat kekurangan bahan baku, inefisiensi perusahaan, dan tak mampu bersaing dengan kompetitor lainnya, sebanyak 69 industri kayu nasional skala besar bangkrut. Padahal, di era 1980-1999 ada sekitar 115 industri kayu nasional yang beroperasi dengan ratusan ribu pekerja. Persoalan bahan baku telah menciutkan jumlahnya hingga tinggal 48 industri. Tahun 2006 masih akan ada industri kayu yang tutup, dan jumlahnya mungkin tinggal sekitar 20 industri. 



Akan tetapi, Menteri Kehutanan Malam Sambat Kaban menyatakan, kesulitan bahan baku hanya akan berlangsung sementara. Indonesia masih memiliki potensi bahan baku alternatif yang sangat besar. "Untuk menyelamatkan industri, kami ingin menormalkan pasokan bahan baku dan kapasitas produksi industri kayu sesuai kemampuan produksi hutan alam nasional dengan membatasi JPT dan operasi illegal logging (penebangan liar)," ujar Kaban. 



Akan tetapi, tukas Nana, jangan lupa bahwa pertumbuhan dan produktivitas hutan alam setiap tahun kurang dari 1 meter kubik per hektar. Padahal, industri kayu membutuhkan pasokan bahan baku lebih besar dari itu. Upaya mengatasi kelangkaan bahan baku kayu alam dengan pasokan dari hak pengusahaan hutan (HPH) resmi pun ternyata tak bisa diandalkan. "Banyak pengusaha pemegang izin hak pengusahaan hutan resmi belum berani mengeluarkan produksi tebangan dari arealnya selama operasi hutan ini. Mereka takut karena kesalahan administrasi sedikit saja bisa menyeret mereka ke dalam penjara," kata Nana. 



Nana meminta pemerintah menyiapkan rencana strategis untuk kesinambungan operasional industri kayu. Menurut dia, konsep menanam pohon hutan di sela pohon alami lainnya bisa memacu pertumbuhan pohon lebih cepat. "Dengan cara ini, 20 tahun ke depan kita bisa mendapatkan bahan baku yang cukup untuk industri perkayuan tanpa khawatir luas hutan alam berkurang. Pemerintah harus memulainya sekarang," katanya. 



Sukses itu dibuktikannya sendiri oleh Nana di areal HPH seluas 20.000 hektar milik PT Sari Bumi Kusuma di Kalimantan Tengah. Produktivitas dan pertumbuhan meranti yang ditanam di sela-sela kayu alam di tengah hutan bisa mencapai 10 meter kubik per hektar per tahun, sepuluh kali lipat dari pola tanaman hutan industri. Sistem ini menghabiskan biaya Rp 5 juta per hektar untuk penanaman 160 batang meranti. 



"Dengan pola ini siklus panen meranti yang biasanya 35 tahun bisa dicapai 20 tahun. Lalu, kita hanya membutuhkan empat juta hektar hutan alam untuk mendapatkan 40 juta meter kubik kayu alam," kata Nana. 



Akan tetapi, Kaban tetap yakin bahwa bahan baku alternatif masih tersedia. Keyakinannya semakin bulat ketika meninjau Unit Manajemen Industri PT Inhutani I di Bekasi. Di sana tengah dilakukan proses pemadatan kayu kelapa sawit untuk jadi bahan baku industri kayu olahan untuk ekspor. Teknologi pemadatan ini hasil temuan peneliti Badan Peneliti dan Pengembangan Dephut Jamal Balfas pada tahun 1999. 



Produksi kayu sawit 

Saat ini baru Inhutani I yang memproduksi kayu sawit untuk diekspor ke Taiwan, Korea, Jepang, dan Amerika Serikat. Pada tahap awal, Inhutani I baru mengekspor 25 meter kubik produk kayu sawit yang sudah diolah menjadi pintu, lantai kayu, dan tongkat pembersih salju. 


Selain memakai bahan baku alternatif, industri kayu diminta menghemat bahan baku. Caranya, mengganti mesin rotary-nya agar bisa mengupas kayu berdiameter 30 sentimeter dan menyisakan inti berdiameter 3-8 sentimeter. 



Menurut Kepala Bidang Analisis dan Penyajian Informasi Dephut Masyhud, sebagian besar industri kayu nasional menggunakan mesin yang hanya mampu mengupas kayu bulat berdiameter besar dan menyisakan inti diameter 20-25 sentimeter. Jenis mesin itu juga butuh energi listrik yang besar. 



Saat ini baru sekitar 16 industri perkayuan yang telah menggunakan mesin rotary baru, antara lain PT Sumber Graha Sejahtera di Banten, PT Kutai Timber Indonesia di Jawa Timur, PT Abirama Plywood di Jawa Tengah, dan PT Dharma Gatya Nusantara di Jawa Tengah dan Jawa Timur. 



"Mereka juga sudah mulai bekerja sama dengan masyarakat untuk menanam hutan rakyat dengan kayu bernilai ekspor," kata Masyhud. (hamzirwan)



Informasi lebih lengkap mengenai program I-GIST Call: 081227566913 atas nama Riki Romdoni, atau KLIK DISINI

Tidak ada komentar: